Pelaku korupsi terbanyak ada di korupsi kerugian negara
Lokadata Beritagar.ID menyusun data dari putusan tindak pidana korupsi yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrah) di tingkat Kasasi/Peninjauan Kembali Mahkamah Agung. Data dikumpulkan dari kasus korupsi sepanjang tahun 1985-2015.
Dalam UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 Pemberantasan Tindak Korupsi bentuk atau jenis korupsi bisa dikelompokkan sebagai berikut: Korupsi yang terkait dengan Kerugian Keuangan Negara, Suap-Menyuap, Penggelapan dalam Jabatan, Perbuatan Pemerasan, Perbuatan Curang, Benturan Kepentingan dalam Pengadaan, Gratifikasi, dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi (merintangi proses pemeriksaan, tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar).
Dari data tersebut menunjukkan bahwa 88,2 persen dari total koruptor melakukan tindak pidana korupsi jenis kerugian keuangan negara. Mereka melakukan korupsi untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum maupun menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya.
Modus yang kerap dilakukan pada jenis korupsi kerugian keuangan negara antara lain: markup anggaran, mengurangi kuantitas dan kualitas barang/jasa, penggunaan dana/anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya, membuat laporan fiktif. Sampai dengan data ini dilansir, akibat perbuatan mereka telah menimbulkan kerugian negara mencapai Rp.46,7 triliun.
Kasus korupsi dengan nilai kerugian negara tertinggi sebesar Rp. 18,1 triliun, yaitu kasus BLBI Hendrobudiyanto yang menjabat sebagai Direktur Bank Indonesia memberikan fasilitas saldo debet kepada 45 bank. Karena perbuatannya, Hendrobudiyanto dihukum penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp. 20 juta.
8,41 persen dari total pelaku korupsi melakukan tindak pidana korupsi jenis suap-menyuap, terbanyak kedua setelah kerugian keuangan negara. Modus yang kerap digunakan oleh para koruptor adalah rekanan mempengaruhi penyelenggaran negara agar mengintervensi proses proyek sehingga rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung, penyelenggara negara menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pekerjaan, memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara (penegak hukum) untuk mempercepat atau memperlambat pemeriksaan perkara, mengatur majelis hakim, merekayasa persidangan, mengatur saksi dan pengadaan barang bukti hingga mengatur putusan pengadilan.
Dalam catatan Lokadata, nilai suap tertinggi yaitu total sebesar Rp.165,6 miliar yang diterima Anas Urbaningrum selaku Anggota DPR/Ketua Fraksi Demokrat dalam pengurusan proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), proyek-proyek di perguruan tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan proyek-proyek lain yang dibiayai APBN agar dikerjakan oleh Permai Group.
Kasus ini menyeret Anas Urbaningrum menjalani hukuman penjara 14 tahun, denda Rp. 5 miliar, pidana uang pengganti Rp. 57,6 miliar dan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik.
Tindak pidana korupsi yang lain yaitu perbuatan pemerasan dilakukan oleh 1,53 persen dari total pelaku korupsi. Modus yang sering digunakan oleh para koruptor adalah penyelenggara negara meminta paksa uang jasa (dibayar dimuka) kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek, mempersulit proses perijinan, pungutan liar.
Seperti dalam kasus Ade Swara Bupati Karawang sengaja mempersulit proses penerbitan Surat Persetujuan Pemanfaatan Ruang (SPPR) atas nama PT Tatar Kertabumi dan memaksa Aking saputra CEO PT Tatar Kertabumi melalui Rajen Dhiren untuk memberikan uang sebesar USD 424.349. Karena perbuatannya, Ade Swara dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp. 400 juta.
Beritagar.id